FreakOut masuk pasar Indonesia

  • Indonesia akan pimpin pertumbuhan pengeluaran iklan digital dan mobile di dunia
  • Tidak seperti iklan konvensional, format native ad tidak mengganggu
FreakOut masuk pasar Indonesia

AKHIRNYA perusahaan digital marketing asal di Jepang, FreakOut melebarkan sayap operasionalnya di Indonesia. Bernaung di bawah bendera PT FreakOut Dewina Indonesia, FreakOut membidik pasar Indonesia dengan menghadirkan in-feed native advertising platform berbasis mobile ad network yang disebut ‘Hike’ sejak Agustus 2015.
 
FreakOut yang telah mencatatkan saham publik di Tokyo Stock Exchange pada 2014  dengan valuasi sebesar US$400 juta (sekitar Rp5,4 triliun) selama ini dikenal sebagai penyedia jasa periklanan demand-side platform (DSP) sejak tahun 2010 di negeri asalnya.
 
Tahun 2015 ini, FreakOut berambisi melakukan diversifikasi bisnis, salah satunya dengan meluncurkan layanan native ad.
 
Bukan tanpa alasan jika FreakOut melirik Indonesia. Di tanah air, meski kontribusi pengeluaran iklan digital baru tumbuh sebesar 4,7 persen, dan pengeluaran iklan untuk mobile internet baru 0,04 persen dari total pengeluaran iklan media di Indonesia pada tahun 2014, namun pertumbuhannya diperkirakan akan terus meningkat.
 
Sebagaimana prediksi eMarketer dalam studi Media Buying Indonesia yang dipublikasikan pada April 2015, disebutkan bahwa kontribusi iklan digital akan naik menjadi 25,1 persen, dan kontribusi iklan mobile internet akan naik menjadi 13,7 persen pada tahun 2019.
 
“Total pasar pengeluaran iklan di Indonesia pada 2019 akan bernilai sekitar US$19,58 miliar (sekitar Rp263,6 triliun). Selama periode perkiraan, Indonesia akan memiliki tingkat pertumbuhan pengeluaran iklan digital dan iklan mobile internet tertinggi di dunia,” tulis eMarketer dalam laporannya.
 
Positifnya prediksi pertumbuhan pengeluaran iklan di segmen digital dan mobile inilah yang membuat FreakOut mencoba peruntungannya di pasar Indonesia.
 
Mengutip data eMarketer, CEO FreakOut Indonesia, Tomohiro Yasukura, kepada Digital News Asia, 9 Oktober lalu di Jakarta mengatakan pengeluaran iklan digital di Indonesia bertumbuh pesat, sekitar 180-190 persen sejak tahun 2013.
 
“Selain itu, tahun 2015 juga diperkirakan akan menjadi tahunnya e-commerce bagi Indonesia, pertumbuhan e-commerce akan mendorong permintaan untuk iklan digital di Indonesia,” ujarnya.

FreakOut masuk pasar Indonesia

Untuk merebut pasar, FreakOut mengusung strategi dengan menawarkan produk teknologi native ad. “Ini karena Indonesia memiliki potensi yang cukup besar dan meningkatkan penetrasi internet melalui ponsel,” jelas Yasukura (gambar).
 
“Selain itu, saat berbicara dengan perusahaan media di Indonesia, meskipun hampir 80 persen lalu lintas pembaca datang dengan landasan mobile, namun masih sedikit sekali solusi monetisasi melalui mobile.”
 
Sebagai perusahaan yang berada di tengah antara pengiklan dan penerbit, Yasukura menambahkan, ia juga ingin menjaring sebanyak-banyaknya penerbit untuk menggunakan layanan FreakOut dalam memonetisasi iklan melalui mobile.
 
Asal tahu saja, sebelum memasuki Indonesia, FreakOut telah terlebih dahulu melakukan ekspansi bisnis di Thailand dan Istanbul. Sepanjang 2015, hike diklaim telah berhasil mendulang sukses di negara-negara tersebut.
 
“Dua negara dengan demografi dan penggunaan perangkat ponsel besar yang mirip seperti Indonesia,” ujar Yasukura.
 
Iklan digital yang tak begitu ‘mengganggu’

FreakOut masuk pasar Indonesia

Saat ini, menurut Yasukura, format iklan terutama pada ponsel pintar yang berbentuk sticky banner, biasanya ada di bagian atas atau samping sebuah konten. Namun iklan ini seringnya malah menutupi konten yang sedang dilihat oleh pembaca.
 
Biasanya model seperti ini mengganggu pembaca karena pembaca tidak bisa menikmati konten media dengan leluasa tanpa kemunculan sticky banner. “Format teknologi iklan kami berbeda dan tidak akan terlalu mengganggu pembaca, karena iklan kami tempatkan sesuai dengan format konten yang ada pada situs mobile tertentu, atau disebut dengan native advertising,” ujar Yasukura.
 
Hasil riset penyedia jaringan periklanan mobile InMobi yang dipublikasikan Maret 2015, menyatakan 49 persen dari responden mendefinisikan native ad dalam mobile sebagai “sebuah unit iklan yang meniru tampilan dan nuansa dari aplikasi tertentu atau situs mobile.
 
Kemampuan native ad dalam menyesuaikan diri dengan situs yang ditempati inilah yang membuatnya menarik. Format tersebut  lebih mampu menarik perhatian masyarakat dibandingkan dengan format iklan lainnya. Jangan heran, bila InMobi menyebut sekitar 20 persen dari anggaran belanja iklan digital pada  2014 di seluruh dunia terpakai oleh belanja iklan melalui mobile native ad.
 
Karena format tersebut dianggap tidak begitu mengganggu, menurut Yasukura, hal ini membuat para penerbit dengan jaringan digital yang besar seperti Kompas.com, Detik, dan KapanLagi memiliki format native ad sendiri-sendiri dengan karakteristik media masing-masing.
 
Disinilah peran FreakOut hadir, yakni untuk menyajikan sebuah format native ad “fit for all”, melalui ‘Hike,’ sehingga konten iklan dapat ditempatkan pengiklan di beberapa media sekaligus.
 
Pengiklan cukup memberikan konten yang seragam sesuai dengan apa yang ingin dicapai, layanan FreakOut Hike akan memberi keleluasaan format teks untuk disesuaikan sesuai dengan keseluruhan tampilan situs.
 
“Jadi pengiklan akan memberikan konten yang seragam, namun dengan layanan FreakOut format dari konten tersebut dapat disesuaikan agar cocok dengan gaya situs tertentu,” jelas Yasukura sembari mengatakan format mengacu pada penyesuaian jenis huruf, ukuran huruf, dan ukuran gambar.
 
Dalam survey yang dilakukan InMobi Insights bertajuk Marketer and Publisher Perceptions: Native Advertising on Mobile”, para pengiklan menggunakan format native ad karena format ini lebih baik dalam melibatkan target pembaca dibandingkan format iklan lain (70 persen), memiliki tampilan dan nuansa lebih baik dan sesuai dengan situs penempatannya (41 persen), lebih ampuh meningkatkan kesadaran suatu merek dan memberikan suara yang lebih otentik pada suatu merek (masing-masing 34 persen).
 
Sedangkan bagi para penerbit, keberadaan native ad lebih dipilih karena memiliki user experience yang lebih baik dengan format yang sesuai dengan situs penerbit (67 persen), tidak begitu mengganggu dibandingkan format iklan lain (55 persen), menawarkan konten yang relevan dan menarik bagi pembaca situs (52 persen), serta menawarkan tampilan dan nuansa yang lebih baik (48 persen).
 
Dengan native ad melalui teknologi Hike milik FreakOut  akan memberikan keuntungan bagi pembaca, pengiklan maupun penerbit.
 
“Bagi pembaca, kami mengatasi masalah dari rasa terganggu yang disebabkan oleh format iklan lain yang sering menghalangi artikel atau kegiatan pencarian informasi melalui ponsel pintar.”
 
“Bagi penerbit, kami memberikan solusi baru untuk meraup untuk melalui iklan ponsel. Sedangkan bagi pengiklan, solusi kami memberikan alternatif format iklan dengan return of investment (ROI) yang tinggi, selain banner ads,” sambung Yasukura.
 
Kecepatan jadi kunci menangkan pasar
 
Perkembangan dalam bisnis periklanan digital di Indonesia semakin menarik minat banyak pemain, apalagi pemain-pemain besar seperti Adskom dan AdPlus yang berada di Indonesia lebih lama.
 
Diakui Yasukura, produk native ad memang saat ini belum dimiliki oleh para pemain besar tersebut, namun diperkirakan para pemain besar akan meluncurkan produk yang sama pada 2016 nanti. Karena itulah FreakOut ingin lebih dulu melakukan penetrasi pasar di teknologi native ad .
 
“Kami ingin menjadi yang tercepat, mendapatkan klien terlebih dahulu dibandingkan pemain lainnya. ” jawab Yasukura saat ditanya mengenai kompetisi yang sengit di industri penyedia jasa periklanan digital di Indonesia.
 
Meski sudah masuk di Indonesia sejak Agustus 2015, namun secara operasional, FreakOut baru beroperasi sekitar dua minggu lalu. Dalam waktu singkat tersebut FreakOut mampu menjaring 50 penerbit yang ingin bekerjasama dan menggunakan teknologi native ad-nya.
 
“Sebenarnya ada ribuan potensi penerbit yang ingin kami raih, tentu saja fokusnya adalah pada penerbit-penerbit besar yang memiliki tingkat kunjungan pembaca yang besar pula,” tambahnya.
 
Rencananya, FreakOut Indonesia akan melakukan grand launching pada Januari 2016 mendatang. Namun sebelumnya, Yasukura berambisi mendapatkan kerjasama eksklusif bernilai transaksi besar, setidaknya dengan salah satu penerbit tingkat atas di Indonesia.
 
Langkah awal bagi perusahaan, menurut Yasukura adalah untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya portofolio kerjasama dengan penerbit, apalagi yang masuk dalam kategori top-tier, baru setelahnya, bisa fokus untuk mencari pengiklan.
 
“Pengiklan akan masuk saat portofolio kerjasama dengan penerbit sudah banyak dan beragam. Namun yang penting, bagaimana performance dan kualitas dari iklan yang akan dipasang, oleh karenanya tiga bulan sampai akhir 2015 ini kami akan melakukan pendataan dan peninjauan performance iklan dan penerbit,” ujar Yasukura.
 
Ekspansi ke Malaysia dan Filipina

FreakOut masuk pasar Indonesia

FreakOut yang berkantor pusat di Tokyo kini memiliki empat kantor cabang yang tersebar di Asia yakni di Osaka, Singapura, Bangkok dan Jakarta, serta satu di perbatasan Asia dan Eropa, yakni di Istanbul.
 
Langkah berani untuk ekspansi di Turki dijalani FreakOut karena melihat peluang yang besar dari sisi demografi, serta adopsi ponsel pintar di negara tersebut.
 
“Jarang memang mendengar ada perusahaan Jepang yang berekspansi ke Turki, namun demikian terbukti, baru satu bulan beroperasi, FreakOut Turki sudah berhasil mengikat kemitraan dengan media terbesar di sana,” jelas Yasukura.
 
Jika nanti bisnis di Indonesia dapat berbuah manis dengan cepat, maka FreakOut akan memikirkan rencana selanjutnya.  Pasar Malaysia atau Filipina akan menjadi sasaran berikutnya, tetapi semuanya tergantung pada kondisi pasar dan diskusi internal.
 
Di Indonesia ekspansi yang akan dilakukan lebih kepada peningkatan layanan dan penambahan jenis produk seperti ditambahnya model ‘programmatic’, atau iklan mobile yang terprogram.
 
Selain itu, FreakOut juga berencana untuk menambah layanan real-time bidding (RTB) atau pelelangan iklan digital, serta retargeting ad atau teknologi iklan yang akan menyesuaikan iklan yang muncul dengan preferensi atau sejarah dari pembaca.
 
Artikel Terkait:
 
US-based Adknowledge and Axiata in pact to tap Asia’s mobile ad market
 
Online ad credibility on the rise in South-East Asia
 
India-Japan duo in pact to deliver personalized ads to SEA users
 
TubeMogul reports 20% increase in its SEA mobile programmatic markets
 
 
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di 
TwitterLinkedIn or sukai laman kami di Facebook.

 
Keyword(s) :
 
Author Name :
 
Download Digerati50 2020-2021 PDF

Digerati50 2020-2021

Get and download a digital copy of Digerati50 2020-2021