e-Money mulai jadi pilihan masyarakat Indonesia
By Masyitha Baziad November 23, 2015
- Pertumbuhan volume transaksi uang elektronik mencapai 121,3%
- BI minta kerjasama perbankan, pelaku industry untuk sosialisasi
SEJAK dicanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) oleh Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2014 lalu, keberadaan uang elektronik (e-money) mulai menjadi pilihan bagi masyarakat dalam bertransaksi.
Laporan terkini Bank Indonesia yang diterima Digital News Asia (DNA) pada 19 November mencatat, hingga bulan Oktober 2015, terdapat 43 juta instrumen atau bentuk uang elektronik yang beredar di Indonesia.
“Saat ini sudah ada total 20 penerbit uang elektronik yang terdiri dari sembilan bank dan 11 penerbit non-bank,” tulis laporan tersebut.
Dari sisi penggunaan, BI juga mencatat volume transaksi dengan penggunaan uang elektronik sampai dengan Oktober 2015 mencapai sekitar 450 juta transaksi dengan nilai nominal yang hampir Rp4,3 triliun atau sekitar US$311 juta.
Dibandingkan dengan tahun 2014, volume dan nominal transaksi masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 121,3 persen dan 30 persen, padahal tahun 2014, volume transaksi hanya mencapai 203 juta dengan nilai nominal mencapai Rp3,3 triliun atau sekitar US$239 juta.
“Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa uang elektronik mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia, meski penggunaannya masih bersifat keseharian dan dengan jumlah yang kecil seperti pembayaran biaya parkir, tol, dan transportasi,” jelas laporan tersebut.
Kartu debit dan kredit dominasi transaksi non tunai
Walaupun terlihat ada peningkatan, Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni Panggabean menyatakan, penggunaan uang elektronik baru mencapai 1 persen dari total keseluruhan transaksi non tunai.
“Transaksi non tunai di Indonesia masih didominasi oleh kartu debet dan kartu kredit,” papar Eni dalam pencanangan sosialisasi GNNT di Jakarta, 19 November.
Setidaknya hal itu terbukti, sebagaimana dilaporkan McKinsey & Company dalam tulisannya bertajuk Asia Pacific Payments Trend 2013. Dalam laporan itu disebutkan, sebesar 99,4 persen dari transaksi ritel Indonesia masih melalui uang tunai.
Angka ini membuat Indonesia berada di peringkat teratas penggunaan uang tunai dalam transaksi ritel. Thailand berada di posisi kedua dengan persentase sebesar 97,2 persen, disusul Malaysia 92,3 persen.
Namun Eni optimis, bahwa dengan adanya sosialisasi berkelanjutan, maka akan semakin banyak masyarakat yang menyadari keuntungan penggunaan uang elektronik, terutama dari sisi keamanan dan kenyamanan.
Menurut dia, pertumbuhan adopsi uang elektronik secara bulanan bisa mencapai 70 hingga 100 persen, lebih pesat dibandingkan pertumbuhan instrumen non-tunai lain, khususnya kartu debit dan kartu kredit yang pertumbuhan bulanannya hanya mencapai sekitar 20 persen saja.
“Tugas BI sebagai regulator adalah mendorong penggunaan uang elektronik yang lebih masif dan inklusif, serta mengembangkan infrastruktur sistem pembayaran yang menjamin keamanan,” tambah Eni pada DNA.
Eni menjelaskan, bahwa tantangan utama adopsi uang elektronik adalah memastikan masyarakat tidak mengasosiasikan uang elektronik dengan penipuan.
“Masih ada ketakutan masyarakat untuk elektronifikasi pembayaran, padahal sebenarnya lebih aman jika membawa uang dalam bentuk elektronik,” katanya.
“Masalahnya ada pada edukasi dan sosialisasi, memberikan informasi pada masyarakat secara lengkap, dan di satu sisi tetap menjalankan upaya pembenahan dan pengembangan infrastrutktur terutama keamanan,” tambahnya.
Artikel Terkait:
Telkomsel luncurkan kembali TCash berbasis NFC
Bayar belanjaan ala Kesles
Logistik dan pembayaran, pendukung e-commerce yang kerap terlupakan
Dihadang FinTech, kreativitas inovasi industri perbankan diuji
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.