Sorry, you need to enable JavaScript to visit this website.

Menuju industri e-commerce Indonesia

  • Tahun 2017 industri e-commerce diprediksi tumbuh hingga 1,5%
  • Daftar negatif investasi asing e-commerce dianggap menghambat
Menuju industri e-commerce Indonesia

 
MENURUNNYA pertumbuhan ekonomi dunia yang menyentuh angka 5 persen pada tahun 2014, berpengaruh cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
 
Alhasil, Indonesia mengalami perlambatan ekonomi yang cukup signifikan. Bahkan, Bank Indonesia memprediksi tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia hnaya akan berada di kisaran 4,7 hingga 5,1 persen.
 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2010 dan 2011 yang bisa mencapai 6,2 persen. Anjloknya harga komoditas yang menjadi sumber utama pendapatan ekspor negara dan pelemahan rupiah berimbas pada menurunnya konsumsi masyarakat.
 
Untuk mendongkrak ekonomi negara pemerintah pun turut mendorong tumbuhnya industri kreatif, termasuk hadirnya technopreneur baru. Tren belanja daring yang pertumbuhannya  masih di bawah 1 persen ini,  dalam lima tahun terakhir makin ekspansif di industri e-commerce.
 
Munculnya sejumlah pemain baru di industri ini,  diprediksi mampu membuat pangsa pasar belanja daring kian besar. Apalagi, jumlah pebisnis offline yang mulai mendigitalisasi bisnis mereka makin bertambah.
 
Untuk mewujudkan hal tersebut, sejumlah ekosistem pendukung dan infrastruktur mulai dibangun. Di antaranya,  menyediakan akses logistik, sistem pembayaran, dan keamanan yang memadai bagi costumer.
 
Dengan populasi sebesar 250 juta jiwa, e-commerce di Indonesia berpeluang untuk mencapai 20 persen dari penjualan retail offline layaknya yang terjadi di sejumlah negara maju.

Menuju industri e-commerce Indonesia 

Cofounder dan managing partnership Ideosource Andi S. Boediman (gambar di atas) menyebut, peluang untuk memperbesar pangsa pasar e-commerce di Indonesia membuat pemerintah serius campur tangan membesarkan ekosistemnya.
 
Hal tersebut berkaca pada kesuksesan industri e-commerce di Tiongkok dan India yang mampu melesat dalam waktu tiga hingga lima tahun.
 
“Di Tiongkok, sepanjang tahun 2011 hingga 2013, retail offline yang beralih ke online (O2O) mencapai 10 persen. Angka ini tumbuh sebesar 2 persen.
 
“Menariknya, di situ ada campur tangan pemerintah yang membantu membangun infrastruktur hingga pertumbuhannya sempat mencatat triple digit,” ucap Andi kepada DNA.
 
Meskipun industri e-commerce Indonesia tertinggal 5 tahun dengan Tiongkok, Andi menyebut masih ada peluang untuk mengejar ketertinggalan dan belajar dari India.
 
Industri e-commerce di India tumbuh dalam waktu tiga tahun tanpa campur tangan pemerintah, sama halnya dengan yang terjadi di Indonesia sebelum pemerintah secara resmi menyatakan dukungan untuk sama-sama membesarkan ekosistem ini.
 

Menuju industri e-commerce Indonesia

Data yang dihimpun Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) memprediksi pertumbuhan e-commerce di Tiongkok akan melampaui Amerika Serikat di tahun 2020.
 
Dalam lima tahun ke depan, pertumbuhan pangsa pasar e-commerce di Negeri Panda tersebut diprediksi mencapai US$ 420-650 miliar. Keseriusan pemerintah dalam membesarkan ekosistem e-commerce tanah air bukan tidak mungkin menjadikan industri ini akan mengekor kesuksesan serupa di Tiongkok.
 
“Pertumbuhan e-commerce di Indonesia saat ini memang masih kecil yakni 0,7%, tapi di tahun 2017 diprediksi pertumbuhannya mencapai 1,5 persen seiring dengan semakin banyak pebisnis offline yang beralih ke online,” ucapnya.
 
Dukungan konkret pemerintah

Menuju industri e-commerce Indonesia 

Menurut Andi, e-commerce hanya satu dari empat industri yang akan semakin besar selain media sosial, payment dan pariwisata di Indonesia. Campur tangan pemerintah disebut akan turut mempengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan keempatnya, terutama industri e-commerce.
 
Salah satu dukungan konkret yang mulai ditunjukkan pemerintah yakni dalam urusan regulasi. Seperti diketahui jika saat ini pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-undang terkait pemberlakuan pajak e-commerce yang melibatkan sejumlah pihak termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak.
 
Menanggapi hal ini, Menteri Perdagangan Thomas Lembong (gambar di atas) memastikan aturan tersebut saat ini masih dalam proses pengkajian.
 
Mengingat, pemerintah dalam hal ini regulator harus ekstra hati-hati dalam menerapkan urusan pajak karena industri e-commerce masih baru dan peka sehingga jangan sampai over atau kurang aturan yang bisa merusak perkembangan industri.
 
“Untuk mendorong perkembangan e-commerce pertama regulator harus pelajari dulu, inilah yang membuat RUU molor dari rencana awal.
 
“Sementara kami melihat soal penerapan pajak dirasa cukup memberatkan pemain e-commerce lokal karena sudah pasti kena PPN dan PPh  sehingga cost lebih tinggi dibanding perusahaan asing yang tidak bisa dikenakan pajak disini,” ucap Thomas saat ditemui DNA, 11 November.
 
Thomas memastikan, selayaknya pemerintah memberikan kebebasan para inovator muda untuk berinovasi dan tidak terlalu cepat menjadikan industri ini sebagai sapi perahan.
 
“Biarkan berkembang dulu, nanti kan terlihat kita (pemerintah) bisa lebih yakin untuk mengeluarkan kebijakan yang seperti apa,” lanjutnya.
 
Ketika disinggung mengenai waktu ideal bagi industri e-commerce lokal menyamai Tiongkok atau India, menteri yang mengaku sebagai fanboy Apple ini mengaku belum bisa memprediksi hal tersebut.
 
“Meskipun sama-sama industri e-commerce tetapi kan nature di Tiongkok dan India berbeda dengan di Indonesia. Ideal pertumbuhannya sulit diprediksi karena banyak faktor lokal yang berbeda sekali, kami masih kesulitan dalam urusan pendataan terkait hal tersebut,” ucap Thomas.
 
Berinvestasi di startup teknologi
 
Selain urusan regulasi perpajakan, hal lain yang juga menjadi sorotan dalam perkembangan e-commerce di Indonesia yakni masalah pendanaan. Pemerintah  diharapkan membereskan perihal daftar negatif investasi.
 
Mengenai hal tersebut, diakui Andi pemerintah sudah mulai melibatkan pelaku industri dalam menyusun kebijakan. Hal tersebut terlihat dari keinginan pemerintah mendengar dan melibatkan beberapa startup dan venture capital dalam kunjungan ke Silicon Valley beberapa saat lalu.
 
“Salah satu bentuk dukungan konkret pemerintah yang paling sederhana yakni urusan daftar negatif investasi karena artinya e-commerce Indonesia yang transaksi online tidak diizinkan menerima pendanaan dari luar, hal ini justru bisa menghambat perkembangan ekosistem itu sendiri,” katanya.
 
Selama tujuan dari pendanaan itu bukan untuk mengambil tapi membantu dan memperbesar ekosistem, menurut Andi, justru harus didukung oleh pemerintah.
 
Lain halnya jika pendanaan asing hendak mengambil alih maka pemerintah harus memberikan perhatian khusus dengan melibatkan pelaku industri untuk membetulkan hal itu.

Menuju industri e-commerce Indonesia 

Sejak tahun 2010, pendanaan untuk perusahaan rintisan di bidang teknologi di Asia Tenggara jumlahnya terus bertambah.
 
Ardent Capital mencatat angka investasi asing yang masuk ke startup Indonesia hingga tahun 2014 mencapai US$280 juta dan 80 diantaranya mencapai kesepakatan investasi dengan startup.
 
Meskipun jumlah tersebut masih jauh di bawah Singapura yang mendapatkan pendanaan mencapai US$446 juta, namun pertumbuhan investasi di bidang startup meningkat hingga 219% selama 4 tahun terakhir.
 
Hal ini terkait dengan  kemunculan investor gelombang kedua. Mereka adalah investor  yang bukan hanya fokus berinvestasi, tetapi juga mengharapkan timbal balik untuk mengembangkan kualitas founder dan startup binaannya.
 
“Saat ini startup Indonesia tengah menghadapi lonjakan investor gelombang kedua, sekitar 4-5 tahun lalu gelombang pertama telah terjadi dan salahnya mereka hanya fokus pada investasi saja.
 
Menuju industri e-commerce Indonesia“Menariknya, hal ini justru mendorong lahirnya startup besar, karena investor di gelombang kedua kali ini bukan sekedar fokus menanamkan modal tetapi juga memberikan pelatihan dan pendidikan agar bisa bekerja di kantornya,” pungkas managing director Mountain SEA Ventures Andy Zain (gambar).
 
Hal ini memicu optimisme pelaku startup untuk terus berkembang ke depannya. Mengingat, kalau bicara konteks investasi, lembaga pendanaan juga akan mengucurkan 10% untuk startup yang masih kecil dan sisanya untuk startup besar yang sudah skill up.
 
“Kalau investor melihat dari startup dari kecil dan bisa berkembang sementara dominasi pendanaan masih menyasar yang sudah struggle di segala kondisi karena perlu ada kombinasi.
 
“Yang terpenting saat ini startup di Indonesia menghabiskan waktu inkubator berat lalu masuk ke VC setelah pintar ke tahap investasi jadi dibenerin dulu dari awalnya yakni dari kualitas sekolahnya,” ungkapnya.
 
Artikel Terkait:
 
UKM Indonesia 'Go Digital'
 
Ritel offline di Indonesia akan kalah pamor dengan portal belanja daring
 
Baidu rangkul startup lokal untuk perbesar pasar e-commerce
 
Tahun 2020, transaksi e-commerce Indonesia mencapai US$130 miliar
 
 
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di 
TwitterLinkedIn or sukai laman kami di Facebook.
 

 
Keyword(s) :
 
Author Name :
 
Download Digerati50 2020-2021 PDF

Digerati50 2020-2021

Get and download a digital copy of Digerati50 2020-2021