Nasib industri telekomunikasi di tengah anjloknya rupiah
By Oleh Ervina Anggraini September 18, 2015
- Pengaruh lemahnya Rupiah baru terasa 1,5- 2 tahun mendatang
- Telekomunikasi menjadi kebutuhan primer melebihi makanan
MELEMAHNYA nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat berdampak pada stablitas perekonomian di tanah air, tak terkecuali industri telekomunikasi. Meski daya beli masyarakat terhadap akses komunikasi masih tergolong tinggi, imbas dari kondisi ekonomi saat ini memiliki pengaruh jangka panjang.
Ketua Asosiasi Penyeleggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) Alexander Rusli dalam sebuah forum diskusi di Jakarta menyebut pengaruh jangka panjang itu mengingat investasi pada industri telekomunikasi biasanya tidak langsung dirasakan di tahun yang sama ketika investasi baru dimulai, melainkan di tahun-tahun berikutnya.
“Kalau sekarang pengaruhnya memang belum terasa, akan tetapi mungkin sekitar 1,5 hingga 2 tahun ke depan,” ucapnya ketika ditemui di kantor Kementrian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, pekan lalu.
Menurutnya jika nilai tukar rupiah terus menurun maka dampak yang akan dirasakan adalah menurunnya kualitas dan jangkauan. Meskipun capital expenditure (capex) yang dikeluarkan tetap, akan tetapi karena nilai dolar tinggi maka jumlah jasa atau barang yang dibeli akan diefisienkan alias dikurangi.
Lebih lanjut dia mengatakan hingga kini biaya operasional terbesar bagi operator adalah penyediaan infrastruktur seperti membangun tower telekomunikasi, mengingat kondisi geografis Indonesia yang menjadi tantangan tersendiri. Terlebih tahun ini operator tengah mendukung program pemerintah untuk memperluas cakupan broadband.
“Target pemerintah tahun ini adalah penyediaan broadband nasional, tentu ini akan memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk menyiasatinya operator mencari cara dengan melakukan sharing infrastruktur untuk menekan biaya,” kata pria yang juga menjabat CEO Indosat ini.
Senada dengan Alexander, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebut sejauh ini operator sudah melakukan berbagai cara untuk mendukung keberlangsungan akses komunikasi, salah satunya melalui passive sharing infrastruktur yang ke depannya bisa menjadi active sharing yang bisa menekan biaya opersional per kilobyte-nya.
“Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadai situasi sulit seperti ini. Malaysia juga tengah menghadapi hal serupa. Implikasi dari menguatnya nilai dolar berpengaruh pada cashflow dan membuat pertumbuhan year-on-year hanya single digit,” kata pria yang kerap disapa Chief RA.
Penyumbang pendapatan nomor dua terbesar
Bukan tanpa alasan jika pihak pemangku kebijakan dan industri khususnya telekomunikasi khawatir dengan kondisi perekonomian saat ini. Berdasarkan data dari Kementrian Kordinator Perekonomian, sektor telekomunikasi menyumbang 7 % dari total impor Indonesia. Dari angka tersebut 2% berupa infrastruktur dan 5% perangkat ponsel.
Industri teknologi informasi dan komunikasi berkontribusi kedua terbesar bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yakni sebesar US$ 14 triliun, namun jumlah yang kembali hanya sebesar US$ 2 triliun.
Rudiantara berharap tahun ini jumlahnya akan tumbuh hingga sebesar US$ 5 triliun.
“Meskipun PNPB naik, kami berharap keberlangsungan industry lebih terjaga. Ukurannya bisa dilihat dari berbagai sisi, seperti keterjangkauan pasar, kepedulian pemerintah yang bukan hanya berpikir untuk jangka pendek tetapi juga lebih ke jangka panjang,” ucapnya.
Ekonom dari ECONIT Henri Saparini menganjurkan para pelaku industry telekomunikasi untuk melakukan persiapan jangka panjang.
Dia menyebutkan dari sisi sektoral saja industri teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia masih tumbuh di atas 9 persen, sementara dari segi investasi termasuk yang pertumbuhannya paling tinggi.
“Dengan adanya pelemahan nilai tukar rupiah ini, revenue di industri teknologi informasi dan telekomunikasi masih bisa naik, namun tidak demikian dengan nett profit,” katanya mengingatkan kenaikan ongkos produksi sebagai alasan.
Ia menyebut perlambatan ekonomi sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2011 ditandai dengan meningkatnya harga komoditas primer. Meskipun perlambatan ekonomi nasional dan global dirasakan imbasnya di beberapa sektor, namun menurutnya untuk telekomunikasi pengaruhnya termasuk paling lambat sehingga tidak langsung dirasakan oleh masyarakat.
Menurut Alexander meskipun nilai dolar terus naik namun kebutuhan komunikasi masyarakat, yang salah satunya adalah membeli pulsa, masih tetap tinggi bahkan bisa mengalahkan kebutuhan lainnya.
“Bila ada uang, orang justru memilih untuk membeli pulsa ketimbang makanan atau rokok,” katanya.
Oleh sebab itu menurutnya belum ada gambaran untuk menaikkan tarif telekomunikasi mengingat tarif yang diberlakukan di Indonesia relatif paling murah di dunia.
“Tarif yang berlaku di sini sepertiga lebih murah ketimbang di India,” ucapnya.
Ia justru optimis daya beli masyarakat tahun depan masih tetap tinggi. Hal itu dilihat dari angka pembelian gadget yang terus meningkat. Tahun ini saja penjualan smartphone sudah menembus 60% dan tahun depan diprediksi mencapai 70 %, katanya.
“Pola pikir masyarakat sekarang sudah berubah. Mereka mengumpulkan uang bukan diinvestasikan untuk membeli emas, tapi untuk gadget terbaru, ” katanya.
Handset murah
Untuk menekan laju barang impor, pemerintah melalui tiga Kementrian, yakni Komunikasi dan Informasi, Perindustrian dan Perdagangan, diharapkan menjabarkan peraturan tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30% untuk perangkat 4G.
Menurut Rudiantara penjabaran tersebut bentuknya bisa berupa surat edaran bersama. “Rencananya Oktober ini rampung,” katanya.
Berbeda dengan konsep sebelumnya yang menekankan pada pembangunan pabrik, kini pemerintah lebih menekankan non-hardware dan model global supply chain dengan sistem pengawasan yang masih dibahas ketiga kementrian terkait, katanya.
“Pemerintah harus realistis, saat ini banyak orang tidak peduli pabrik dan suplai dari mana tapi yang terpenting kita mendorong non-hardware-nya, seperti desain produk dan aplikasi yang bisa dibuat orang Indonesia dan disertakan dalam ponsel tersebut,” imbuhnya.
Hal itu menurutnya terkait dengan upaya mendongkrak adopsi 4G LTE yang hingga kini dirasakan masih relatif lambat. Dengan adanya ketersediaan perangkat disertai harga yang terjangkau diharapkan akan dapat meningkatkan penggunaan dan pemerataan akses layanan.
Tak bisa dipungkiri jika hingga kini industri handset masih terkendala adanya barang selundupan yang membanjiri pasar. “Ini memerlukan solusi dan insentif agar investor mau berinvestasi dan mendukung kebijakan TKDN,” katanya.
Direktur Utama Telkom Alex Janangkih Sinaga menyebut peluang untuk menggaet investor sebenarnya tergantung bagaimana semua stakeholder menjawab tantangan di lapangan. Ia berharap pemerintah bisa belajar dari industri telekomunikasi di Eropa dan Amerika yang tergilas perkembangan Internet.
“Yang paling penting untuk kondisi ekonomi saat ini bukan hanya industri yang harus efisien, tetapi juga ekosistemnya, khususnya dari sisi customer,” katanya.
Artikel Terkait:
Hadapi era 4G LTE, siapkah ekosistem industri telekomunikasi Tanah Air?
Dorong pertumbuhan pengguna Internet, Indonesia percepat dukungan infrastruktur
Brunei, Indonesia, Malaysia and Singapore to align with 700 MHz plan
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.