Peluang bisnis operator menuju era 4G
By Ervina Anggraini December 11, 2015
- Operator harus mencari model bisnis digital non-tradisional
- Masuki era 4G, operator berkomitmen tidak akan perang tariff
DI MASA Mendatang, transformasi bisnis operator telekomunikasi bukan lagi sekedar penyedia akses komunikasi bagi masyarakat. Operator pun diprediksi akan menghasilkan pemasukan dari beragam model bisnis baru di era ekonomi digital.
Ditambah lagi, dengan menjamurnya perangkat pintar yang terkoneksi Internet, maka akan memunculkan beragam peluang bisnis baru bagi industri telekomunikasi.
Sayangnya, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 90 persen lalu lintas data yang terjadi di dalam negeri masih didominasi akses ke luar. Hal ini membuat beban jaringan yang harus dipikul oleh operator menjadi semakin besar.
Berbeda dengan Korea Selatan, 70 persen traffic data justru ditanggung oleh negaranya.
Tentu keadaan ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk menumbuhkan ekonomi digital.
“Operator di Indonesia memulai bisnis dari penyedia jaringan kemudian merambah pada ketersediaan akses. Sekarang sudah memasuki era data, ini menjadi permulaan yang baik untuk mengembangkan model bisnis. Yang kita butuhkan bukan hanya voice, tetapi juga butuh dukungan devices, application, dan network (DNA),” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dalam diskusi media ‘4G, What’s Next?’ di Jakarta.
Rudiantara memastikan saat ini operator harus menyiapkan bisnis model yang menguntungkan bagi pelaku industri dan pelanggan. Terlebih, pasca rampungnya modernisasi jaringan di spektrum 1800MHz, sejumlah operator pun mulai menyediakan akses data 4G ke pelanggan.
Rudi berharap operator mengadopsi strategi bisnis yang berbeda seperti saat mengkomersialkan jaringan 3G. Sepuluh tahun lalu di era 3G, pelaku industri melakukan perang tarif demi mendapatkan pelanggan. Namun kini di era 4G, pelaku industri telekomunikasi tidak lagi melakukan perang tarif.
“Kalau lihat sejarah, perang tarif tidak membawa manfaat untuk siapapun. Pelanggan dapat harga yang murah, pengaruhnya justru mengompensasi layanan, pada akhirnya yang rugi juga pelanggan.
“Semua pelaku industri berkomitmen untuk menghindari perang tarif, saya jamin hal ini tidak akan terjadi di 4G,” kata direktur utama XL Axiata, Dian Siswarini.
Senada dengan Dian, Rudiantara juga memastikan jika strategi tersebut tidak bisa lagi dilakukan oleh industri karena akan mengorbankan banyak pihak.
“Perang tarif tidak akan memberikan harga dasar, hal itu tidak bisa lagi dilakukan di era 4G karena akan mengorbankan banyak pihak. Kalau mau menjadikan industri ini bisnis, maka buat model bisnis yang baik, kalau mau amal, ya amal biar jelas,” ungkap Rudi.
Pria yang kerap disapa Chief RA ini juga mengancam, jika ada operator yang menggunakan strategi demikian maka dirinya tidak segan-segan untuk meminta perusahaan melakukan perombakan direksi.
Demi mengembangkan bisnis di era 4G, pemerintah akan memberikan ruang bagi pelaku industri dalam membangun model bisnis yang solid. Di sisi lain, pemerintah akan fokus mendorong terjadinya efisiensi di tengah pelaku industri.
“Saat ini di sini (Indonesia) ada 6 operator, saya mendorong adanya efisiensi terutama untuk sharing infrastruktur sehingga kedepannya akan ada konsolidasi antar pelaku industri,” pungkasnya.
Transformasi industri telco
Demi mewujudkan ekonomi digital, Rudiantara memastikan, operator telko harus siap melakukan transformasi. Mengingat industri telekomunikasi akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi negara.
“Saat ini operator berpikirnya bukan lagi penyedia jaringan, tapi juga bagaimana bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Rudi.
Untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, transformasi bukan lagi sebuah pilihan, namun menjadi sebuah keharusan bagi industri telekomunikasi.
Presiden direktur dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli mengaku saat ini tidak ada pilihan lain di era digital sehingga perusahaan telko harus bertransformasi dan masuk ke ranah digital.
“Perubahan bukan lagi sekedar produk yang dikeluarkan, tetapi harus sesuai dengan era digital saat ini,” ucap Alex (gambar).
Direktur utama XL Axiata Dian Siswarini juga mengakui jika transformasi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh operator. Saat ini, anak perusahaan Axiata Group Bhd tersebut mengubah visi dari pemain telekomunikasi menjadi perusahaan digital sebagai strategi utama.
“Saat ini operator harus mencari model bisnis digital di luar tradisional telko, transformasi menjadikan bagian dari budaya perusahaan.
“Dengan begitu operator bukan hanya menjadi pendorong ekonomi digital, tetapi juga dari segi operasional menjadi lebih efisien dan mendulang profit lebih baik,” ucap Dian.
Untuk bertahan di era broadband, direktur jaringan Telkomsel Sukardi Silalahi menyebut, perusahaan telekomunikasi harus memerhatikan tiga hal. Bukan hanya aspek teknologi, tetapi ada dua unsur lain yakni regulasi dan culture yang harus ditekankan untuk mewujudkan ekonomi digital.
“Dalam dua tahun kedepan, kami yakin trennya bukan lagi urusan konektivitas, tetapi sudah mulai ke ranah digital. Diantara tiga hal tersebut, sebenarnya culture menjadi yang paling berat karena menyangkut bagaimanan memperkenalkan digital dan teknologi baru ke masyarakat,” ucap Sukardi.
Operator yang memiliki 150 juta pelanggan tersebut, memiliki 160 juta pengguna data. Di tengah tren digital, Telkomsel menargetkan mengantongi 100 juta pelanggan data di tahun 2016 dan menyediakan layanan LTE sedikitnya 70 persen di satu kota.
Berbeda dengan kompetitornya, Hutchison Tri menjadi satu-satunya operator yang belum mengkomersialkan layanan 4G. Meski demikian, Tri melihat transformasi perusahaan ke arah digital merupakan suatu keharusan.
Wakil direktur utama PT Hutchison Tri Indonesia (Tri) M. Danny Buldansyah menyebut, pihaknya sudah menggunakan segala macam teknologi untuk efisiensi jaringan demi membawa trafik data besar.
“Saya rasa kedepannya perkembangan data akan terus tumbuh. Sekarang ini, trafik data pelanggan Tri sendiri bisa mencapai 1100 hingga 1300 terabyte per hari, sejauh ini hanya menggunakan 5MHz di frekuensi 1800MHz,” ucap Danny.
Untuk menghadapi lonjakan data yang lebih besar tahun depan, Danny mengaku, membutuhkan penambahan frekuensi.
Sekedar informasi, bila dibandingkan dengan operator lainnya pada frekuensi 1800MHz, Tri hanya memiliki pita selebar 10MHz sementara Telkomsel 22,5MHz, XL Axiata 22,5MHz, dan Indosat Ooredoo 20MHz.
Sedangkan pada frekuensi 2,1GHz dimiliki oleh Telkomsel sebesar 15MHz , XL Axiata 15MHz, Indosat Ooredoo 10MHz, dan dua blok kosong sebesar 10MHz.
Untuk mengawali layanan 4G LTE, Tri baru akan menyasar enam kota. Layanan 4G Tri mulai digelar di awal kuartal 2016, di antaranya di Jakarta dan Bandung.
Era 4G datangkan tantangan baru bagi Smartfren
Bukan hanya Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata dan Hutchison Tri, yang akan melayani jarigan 4G LTE, operator Smartfren juga akan melakukan yang sama.
Smartfren melihat era 4G sebagai tantangan baru. Namun, direktur utama PT Smartfren Telecom, Tbk (Smartfren), Merza Fachys mengaku jika perusahaannya memiliki cara pandang berbeda dengan perusahaan GSM, yang selama ini merupakan pemain di ranah CDMA.
“Bagi kami 4G layaknya sebuah ‘kehidupan’ yang benar-benar baru, untuk sebuah transisi, karena berbeda dengan operator GSM yang masuk ke teknologi 4G,” pungkas Merza.
Dia mengibaratkan perusahaan harus menjalani hidup baru sebagai penyedia 4G dan hidup lama sebagai operator CDMA secara bersamaan. Untuk itu tantangan yang dihadapi pun tidak sedikit dan berbeda dengan yang dihadapi kompetitor lainnya.
Salah satu perbedaan yang dimaksud berupa pendekatan dan kaitannya dengan regulasi. Smartfren bukan hanya perlu melakukan migrasi jaringan, tetapi juga melakuan migrasi pelanggan agar mengadopsi teknologi 4G yang dirasa benar-benar baru.
“Berdasarkan pengalaman kami ,melakukan migrasi itu tidak mudah. Kami harus sediakan handset sendiri yang mengakomodir teknologi baru tapi juga tidak mengorbankan teknologi yang selama ini ada,” tambahnya.
Demi mengatasi kendala tersebut, ia berharap penataan bisa menjadikan industri lebih efisiensi.
“Regulasi yang mengatur berbagi infrastruktur misalnya, kalau nanti sudah terwujud sangat membantu karena harga akses data perkilobyte bisa lebih murah,” ungkapnya.
Di tengah pertumbuhan ekonomi digital, Menkominfo justru melihat Smartfren menjadi satu-satunya operator yang memiliki kesempatan besar untuk berkembang.
“Jika melihat dari induk perusahaannya Sinar Mas, harusnya Smartren bisa mengeluarkan setengah untuk non jaringan jadi peluangnya sangat besar di ranah digital,” ucap Rudi.
Artikel Terkait:
Sambut era 4G, Kominfo keluarkan aturan berbagi infrastruktur
Pasca 'geber' 4G, pemerintah bakal dorong pertumbuhan OTT lokal
Pemerintah dorong kemunculan 1000 startup pada 2020
Adopsi 5G di Indonesia harus dipersiapkan dengan matang
Melalui satu pintu, cara baru registrasi kartu perdana
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.