Project Loon Google sambangi Indonesia
By Ervina Anggraini November 2, 2015
- Uji coba Project Loon menggunakan frekuensi 900MHz milik tiga operator
- Selama satu tahun akan mengudara di Sumatera , Kalimantan dan Papua
To read a slightly different version of this story in English, click here.
AKHIRNYA Project Loon milik Alphabet Inc (Google) bakal menyambangi tanah air. Hal ini terungkap dalam lawatan kenegaraan pemerintah Indonesia ke Silicon Valley, Amerika Serikat, yang salah satunya mengunjungi markas Google di Mountain View, California.
Google pun mengumumkan kesepakatan kerjasama dengan tiga operator besar di Indonesia: Telkomsel, XL Axiata dan Indosat, untuk mengujicoba balon udara Project Loon, pada 2016.
Kesepakatan uji coba Project Loon di Indonesia disampaikan oleh president Alphabet Inc Sergey Brin bersama vice president Project Loon Mike Cassidy, CEO PT Telkomsel Indonesia Ririek Adriansyah, CEO PT XL Axiata Tbk Dian Siswarini dan CEO PT Indosat Tbk Alexander Rusli. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara turut mendampingi.
Menurut Rudiantara, kerjasama ini merupakan upaya pemerintah dalam menyediakan akses Internet hingga ke daerah terpencil di Indonesia.
Project Loon adalah sebuah balon helium yang terbang dua kali lebih tinggi dari pesawat komersil di stratosfer dengan membawa jaringan Internet dan akan sulit terlihat dengan mata telanjang.
Project Loon yang menggunakan balon udara bertenaga matahari akan mengudara di ketinggian sekitar 20km di atas permukaan laut dan berfungsi layaknya menara pemancar. Project Loon akan memancarkan sinyal Internet dengan menggunakan frekuensi 900MHz milik Indosat, XL Axiata, dan Telkomsel.
Teknologi Project Loon bisa menjadi alternatif yang efisien secara ekonomi dan operasional, mengingat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan ditambah jumlah penduduk yang sangat besar dan tidak merata.
Nantinya, layanan ini dapat menjadi solusi dalam pemerataan koneksi Internet ke wilayah terpencil di seluruh Nusantara. Hal ini sejalan dengan inisiasi Indonesia Mobile Broadband 2014-2019 yang menyediakan akses Internet sampai ke penjuru tanah air.
Project Loon sendiri sebelumnya sempat menuai pro dan kontra, sejak diuji coba pertama kali di Selandia Baru pada Juni 2013 lalu dan berlanjut ke Brazil.
Sementara di Indonesia, selama masa uji coba teknis, akses Internet melalui Project Loon berada sepenuhnya dalam kontrol Indosat, XL Axiata, dan Telkomsel melalui infrastruktur backbone yang dimiliki ketiga operator tersebut.
“Selama ini konektivitas internet di Indonesia masih belum merata, oleh karenanya tujuan utama pemerintah adalah memberikan kecepatan dan akses berteknologi long-term evolution (LTE) kepada lebih dari 100 juta masyarakat,” ujar country manager International Data Corporation Sudev Bangah dalam pernyataan resmi yang diterima Digital News Asia (DNA).
Ia menambahkan, kesepakatan membawa Project Loon ke Indonesia adalah langkah yang masuk akal, mengingat ada 25 juta perangkat pintar yang dikapalkan ke Indonesia setiap tahunnya.
Hal penting lain, yang perlu diperhatikan setelah adanya kesepakatan Project Loon adalah menumbuhkan kesadaran pada masyarakat akan kegunaan dan manfaat dari tersedianya akses konektivitas ini.
“Bagi masyarakat awam yang belum tersentuh dengan konektivitas, tersedianya akses internet mungkin tidak akan digubris. Masyarakat akan lebih peduli jika pemerintah membangun infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, atau ketersediaan transportasi publik, dibandingkan sebuah infrastruktur yang tak terlihat seperti konektivitas,” tambahnya.
Project Loon akan menjadi proyek yang baik bagi Indonesia jika diiringi dengan sosialisasi bagi masyarakat dan pengguna awam, terutama bagi masyarakat yang berada di bagian timur Indonesia, yang rata-rata menggunakan Internet melalui perangkat mobile.
“Hal yang paling utama adalah bagaimana balon yang diterbangkan ini mampu membawa bisnis-bisnis yang berbasis di desa dan daerah menarik perhatian khalayak yang lebih luas. Bagaimana akses Internet dapat membuat kualitas hidup masyarakat daerah lebih baik lagi,” pungkasnya.
Meski demikian, Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail Chawidu memastikan bahwa penandatanganan nota kesepahaman antara tiga operator dan Google merupakan kesepakatan yang masih sebatas proses uji coba dalam penyediaan akses Internet hingga ke daerah pelosok di Indonesia.
“Kerjasama ini sifatnya kan untuk riset dulu, jadi untuk daerah yang sulit dijangkau operator seperti Kalimantan dan Papua bisa mengakses internet dengan memakai balon Google yang fungsinya sebagai BTS (Based Transciever Station),” ucap Ismail saat dihubungi DNA melalui telepon pada 29 Oktober 2015.
Ismail menyebut rencana ujicoba itu akan dilaksanakan selama setahun pada 2016 meski ia belum bisa memastikan kapan tepatnya proyek penyediaan akses internet melalui ‘BTS terbang’ akan dimulai.
Belum ada kesepakatan komersil
Hal itu diakui direktur utama PT Telekomunikasi Seluler Indonesia (Telkomsel) Ririek Adriansyah melalui keterangan resminya. Ia menegaskan saat ini belum ada kesepakatan secara komersial dengan salah satu dari tiga operator.
Hanya saja, selama proses uji coba berlangsung, pemerintah maupun operator bisa melihat kecanggihan teknologi terbaru Google dalam memberikan layanan Internet ke berbagai daerah.
Senada dengan Ririek, presiden direktur PT XL Axiata Dian Siswarini juga belum mengambil keputusan atau kesepakatan apapun untuk pengembangan layanan komersial atas proyek uji coba ini. “Proses komersialisasi Loon akan memakan waktu paling cepat 2 - 3 tahun setelahnya,” ungkap Dian dalam keterangan resmi yang diterima DNA.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi XL untuk berkolaborasi mengingat kedepannya XL akan berdiskusi dengan Google untuk mempelajari proyek ujicoba lebih lanjut baik secara teknis maupun komersial.
Sementara itu, Ismail juga memastikan, bahwa hingga kini belum ada skema pembahasan dari segi bisnis. Untuk sampai ke kerjasama yang saling menguntungkan, maka yang paling utama harus bisa memberikan manfaat bagi pelanggan.
“Setelah ujicoba nanti perlu dilakukan evaluasi mengenai kemungkinan bisnis yang akan dilakukan. Jangan sampai merugikan,” aku Ismail.
Anggota Badan Regulasi Relekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi juga memastikan ada berbagai kemungkinan bisnis yang bisa dijalin antara operator dan Google melalui Project Loon. Ia memastikan aspek terpenting jangan sampai mengorbankan unsur keselamatan pihak lain seperti industri penerbangan dan keamanan negara.
“Nantinya pemerintah akan mengkaji apakah Project Loon bisa mengatasi kesenjangan akses telekomunikasi, kalau memungkinkan bisa tidak operator telko bersinergi membangun infrastruktur di daerah terpencil tersebut,” ungkap Ketut.
Keuntungan untuk industri telekomunikasi
Division Head Public Relations Indosat Adrian Prasanto menyebut dalam jangka panjang kerjasama ini bukan hanya bisa memfasilitasi akses komunikasi untuk pelanggan, tapi juga memberikan keuntungan tersendiri bagi industri telko.
“Kalau ujicoba di tahun 2016 sukses dan sudah komersial tentu bisa menambah jumlah pelanggan dan mendatangkan pemasukan untuk operator telekomunikasi,” ucapnya.
Menurutnya, kemungkinan skema yang akan diberlakukan juga tidak jauh berbeda dengan kerjasama yang sudah terjalin antara Indosat dan Facebook. Nantinya Google akan memfasilitasi operator dalam menjangkau orang-orang yang berada di pelosok dapat merasakan manfaat akses Internet.
“Facebook dan Project Loon sama-sama memiliki objektif yang kurang lebih sama yakni memberikan kemudahan. Mengenai kemungkinan mendatangkan keuntungan lain saat ini. kami belum sampai pada tahap itu,” lanjutnya.
Director & chief management officer PT XL Axiata Ongki Kurniawan menyebut keuntungan lain jika proses komersialisasi sudah dilakukan yakni bisa menjangkau masyarakat yang selama ini tidak terjangkau operator telko.
“Untuk XL sendiri saat ini masih ada sekitar 20% dari populasi atau sekitar 50 juta orang yang belum terjangkau, kalau proses ujicoba berjalan mulus dan ada kelanjutan kerjasama tentu akan semakin banyak orang yang bisa memanfaatkan akses internet untuk banyak kebutuhan,” ucap Ongki.
Aturan terkait penggunaan frekuensi
Terkait dengan penggunaan frekuensi 900MHz milik operator, anggota BRTI Imam Nashirudin menyebut perlu ada aturan dan pembahasan lebih lanjut mengingat Indonesia tidak memperbolehkan penyewaan frekuensi yang dimiliki oleh operator ke pihak lain, termasuk dalam hal ini perusahaan teknologi asing seperti Google.
“Secara peraturan memang tidak diperbolehkan operator melakukan penyewaan frekuensi, meski dianggap bermanfaat tapi kerjasama seperti Loon ini masih harus dikaji aturannya. Kalau ada kemungkinan penggunaan frekuensi mengganggu industri lain seperti penerbangan atau keamanan negara kan sama saja mengancam negara,” ucap Imam.
Sekedar informasi, sebelum menyetujui menggunakan frekuensi 900MHz milik operator, Google sempat mengajukan ijin menggunakan frekuensi 700MHz yang sampai saat ini sudah dialokasikan untuk TV analog.
Penggunaan frekuensi 900MHz untuk teknologi LTE (Long Term Evolution) oleh Google harus ada penjajakan dan pembahasan lebih lanjut, termasuk untuk keperluan ujicoba nanti.
“Dalam tataran ujicoba pun perlu diketahui dahulu Google mau menerbangkan balonnya di mana, harus dipastikan di lokasi yang aman, di pulau yang tidak ada cakupan selular dengan penduduk kecil dan penerbangan tidak banyak jadi tidak mengganggu, seperti msialnya di daerah Papua,” lanjutnya.
Selain memerhatikan aspek penggunaan frekuensi, pemerintah dan operator juga diharapkan memerhatikan aspek privasi dan keamanan data pelanggan saat resmi memperkenalkan Project Loon.
Menurut Imam, pemerintah saat ini tengah menggodok undang-undang terkait perlindungan data pribadi yang memungkinkan perusahaan seperti halnya Google menyalahgunakan data pelanggan bukan hanya melalui Project Loon, tetapi juga melalui layanan lain miliknya.
“Saat ini Rancangan Undang-Undang terkait perlindungan data pribadi memasuki proses penyusunan draft, setelah itu dilakukan pengujian publik.
“Kemungkinan draft bisa selesai bulan November semoga akhir tahun bisa rampung, karena aturan ini juga melibatkan Kementerian Politik Hukum dan Hak Azasi Manusia (Polhukam) terkait dengan sensitivitas aset negara,” pungkasnya.
Ia berharap masyarakat juga mengawal aturan ini khususnya yang terkait dengan kerjasama Project Loon untuk mengetahui sejauh mana unsur bahaya atau keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat, industri, dan negara.
“Meskipun ini kerjasama B2B (business-to-business) tapi bisa berdampak pada industri lain seperti militer dan penerbangan, jadi negara juga harus ikut campur.
“Kalau nanti ada rencana untuk mengkomersialkan Project Loon dengan operator, kita akan panggil operator dan pihak Google untuk melakukan pembahasan lebih lanjut karena ada unsur bisnis dan kembali lagi ke proteksi data pengguna secara luas,” ucapnya.
Artikel Terkait:
Joko Widodo ajak technopreneur Indonesia ke Silicon Valley
Batal ke Silicon Valley, Jokowi-Obama sepakat tingkatkan kerjasama teknologi informasi
Telco Deep Dive: Operators just scratching the surface with 4G
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.