UKM Indonesia ‘Go Digital’ III: Butuh sosialisasi dan pelatihan
By Masyitha Baziad November 13, 2015
- Pelaku UKM merasa tak miliki kemampuan teknis yang cukup untuk mengelola kanal digital
- Sadar peluang pasar besar melalui digital, pelaku UKM minta diberikan pelatihan dasar
To read a slightly different version of this article in English, click here.
SERUAN untuk memanfaatkan teknologi dan masuk ke ranah digital sudah sering didengar para pelaku UMKM. Hanya saja, seruan ini seringnya tak diiringi dengan sosialisasi dan pemberian pendidikan bagi para pelaku UMKM itu sendiri.
Bagian dari seruan go digital yang paling dipahami adalah berjualan di media sosial.
“Saya akan langsung mengasosiasikan go digital dengan berjualan di media sosial, seperti Instagram atau Facebook,” ujar pemilik usaha mikro penjualan tas kulit lokal Roro Kenes Indonesia, Noor Anugrahandina (gambar di atas) pada Digital News Asia (DNA), pada 22 Oktober.
Noor yang ditemui saat sedang ikut serta pada ajang Trade Expo Indonesia (TEI) 2015 di Jakarta menyatakan, saat ini satu-satunya media sosial yang dimilikinya adalah Instagram, karena karakteristiknya dengan gambar-sentris mampu menarik minat pembeli daring.
“Situs web sebenarnya ada, tapi belum ada isinya. Hanya berupa e-katalog saja, Itu pun jarang di update,” cerita dia.
“Jika berpikir tentang waktu dan tenaga yang perlu dikerahkan dalam mengelola situs web, terutama untuk menjawab permintaan dan pertanyaan dari calon pelanggan, rasanya saat ini saya dan rekan tidak mampu,” tambah Noor yang memulai usahanya pada April 2014 lalu.
Meski menyadari betul akan manfaat go digital bagi usahanya, terutama jika tampilan situs webnya apik dan menarik, serta dikelola dengan baik, maka akan dapat membuka peluang pasarnya yang lebih besar lagi.
Sayangnya, Noor layaknya para pelaku UMKM lain, masih melihat pengelolaan situs web dan go digital sebagai hal yang rumit dan membutuhkan waktu serta keahlian khusus.
“Kami tidak begitu paham tentang hal-hal penting apa yang diperlukan bagi UMKM untuk go digital. Jika sudah membuat situs web, lalu selanjutnya apa, bagaimana menjaga agar situs web tetap interaktif, berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengelola situs web,” tutur Noor.
Baginya, mengelola alur produksi usaha mikronya saja sudah cukup menyita waktu, apalagi kalau harus membagi dirinya untuk mengelola kanal digital.
“Go digital itu tanggung jawabnya juga besar. Jika sudah terpapar di situs web atau e-commerce misalnya, tentu permintaan akan naik. Nah, masalah selanjutnya adalah kesiapan produksi, mampu tidak memenuhi pesanan yang semakin meningkat,” tambahnya.
Usaha Noor, dengan merek Roro Kenes, baru mampu menghasilkan 100 buah tas wanita perbulan dengan ukuran kecil hingga sedang. Tas buatan tangan ini diproduksi tanpa peralatan canggih, hanya mengandalkan ketrampilan dari 10 pekerja saja.
Mengincar konsumen wanita kelas menengah ke atas, tas buatan tangan Roro Kenes dibandrol dengan harga Rp1,7 juta hingga Rp3,9 juta atau sekitar US$124-285 per buah.
“Untungnya pemerintah di bawah berbagai kementerian dan lembaga, sering mengadakan pameran-pameran UMKM, sebisa mungkin setiap bulan ikut satu pameran untuk membantu promosi dan penjualan,” cerita Noor.
Meski membutuhkan tenaga dan usaha yang besar untuk ikut serta dalam pameran, Noor merasa jalur promosi melalui pameran membantu kelangsungan usahanya, saat ia dan rekannya masih belum mampu masuk ke ranah digital lebih lanjut.
“Jika ada bantuan, misalnya pelatihan go digital bagi UMKM, di mana kami diajarkan cara mengelola dan memanfaatkan teknologi untuk bisnis dengan cara yang efisien, jelas saya mau ikut serta, saya juga ingin usaha ini bisa berkembang pesat,” tambahnya kemudian.
Berbeda dengan Noor, pemilik usaha mikro BatikGuitar, Guruh Sabdo Nugroho (gambar di atas) sudah memanfaatkan ranah digital untuk meraih pelanggan sejak awal merintis usahanya.
Menjual alat musik gitar bermotif batik yang dilukis langsung pada kayu body guitar, Guruh sejak awal paham betul bahwa go digital adalah satu-satunya cara agar produknya bisa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan produk gitar lain.
“Dari awal saya berpikir, agak sulit bagi saya untuk bersaing di pasar alat musik gitar jika saya menggunakan jalur distribusi konvensional, yakni melalui toko, apalagi toko-toko sudah penuh dengan merek lain yang lebih terkenal,” ujar Guruh pada DNA saat ditemui di ajang TEI 2015, 22 Oktober lalu.
BatikGuitar pertama kali dijual pada 2011 melalui halaman jejaring sosial Facebook. Animo pelanggan yang diterima kala itu cukup baik, perlahan-lahan Guruh pun mencoba masuk ke situs jual beli berbasis komunitas Kaskus.
Melihat peluang pecinta musik di komunitas daring yang cukup besar, pada 2013, Guruh memutuskan untuk menyewa jasa pembuatan situs web, dan hingga kini menjadikan situsnya sebagai portal utama dalam berbisnis.
“Menjual produk di ranah digital itu perlu sebuah cerita. Cerita yang saya jual adalah keunikan gitar yang seluruh proses pembuatannya asli menggunakan tangan,” ceritanya.
Dengan cerita yang unik serta produk yang asli dibuat oleh tangan manusia, Guruh membanderol harga gitarnya dari US$800 hingga US$4.000 atau sekitar Rp10 juta hingga Rp55 juta, sesuai dengan tingkat kerumitan pengerjaan, serta kualitas bahan baku yang digunakan.
Situs web BatikGuitar sudah memuat informasi produk yang lengkap dan terkini, tapi menurut Guruh, fungsinya masih berupa e-katalog. Situsnya juga belum melayani pembelian dan pemesanan langsung.
Meski masih terbatas dari sisi fungsi, namun manfaatnya go digital sudah ia rasakan: pembeli BatikGuitar mayoritas berasal dari luar negeri. “Keuntungan berjualan online dengan produk yang unik seperti ini adalah meraih pembeli dari negara lain. Justru 70 persen pembeli saya adalah pembeli internasional, dimana mayoritas datang dari Australia, Belanda, bahkan Rusia,” papar Guruh.
Dalam satu bulan, Guruh hanya mampu memproduksi sekitar 10 hingga 15 buah gitar bermotif batik, baik itu elektrik maupun akustik. Seluruh produksi ditangani langsung olehnya dan dibantu lima orang pekerja di workshop rumahan yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah.
Meski go digital telah dirasa memberi manfaat terutama dalam hal jangkauan pelanggan, Guruh masih belum berani untuk meningkatkan keberadaan digital bisnisnya.
Hal ini disebabkan, karena sulit mencari sumber daya manusia yang handal dan mampu memproduksi gitar batik, sehingga pesanan yang dapat diterima setiap bulannya terbatas.
“Kalau situs web dibuka untuk pemesanan produk langsung, saya takut tidak bisa melayani semua pesanan karena keterbatasan kemampuan produksi,” tambahnya.
Bagi Guruh, tantangan utama para pelaku UKM sebenarnya bukan hanya pada akses terhadap teknologi, namun terkait pada kapasitas produksi dan sumber daya manusia.
“Jika sumber daya manusia yang ahli semakin banyak, maka kapasitas produksi juga akan naik. Saat kapasitas produksi meningkat, tentu kita akan lebih berani untuk menguatkan eksistensi di ranah digital.
“Elemen kapasitas produksi, sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi semuanya berkaitan erat,” ujar Guruh.
Tujuan dari seruan go digital bagi para pelaku UKM adalah untuk membuka akses sebesar-besarnya kepada pasar yang lebih luas, namun bagaimana jika kapasitas produksi para pelaku UKM ini belum cukup untuk memenuhi kemungkinan permintaan yang akan datang?
Artikel Terkait:
UKM Indonesia 'Go Digital'
UKM Indonesia ‘Go Digital’ II: Perlu kebijakan pendukung
Portal e-commerce khusus UKM diluncurkan
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.