Riset membuktikan SDM tetap menjadi kunci utama ekonomi digital
By Ervina Anggraini February 12, 2016
- SDM bukan hanya tenaga kerja, tetapi juga termasuk pelanggan dan mitra bisnis
- Teknologi tidak akan menggantikan manusia, karena memiliki kemampuan berbeda
DITENGAH pesatnya kemajuan teknologi, sejumlah perusahaan kini bukan hanya mengedepankan pentingnya aspek teknologi itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting adalah manusianya.
Riset terbaru yang dilakukan Accenture menunjukkan bahwa perusahaan semakin sadar bahwa pengembangan sumber daya manusia (SDM) justru memegang peranan penting di era ekonomi digital.
Managing director, technology lead, Accenture Indonesia Hamidjojo Surjotedjo menyebut keberhasilan perusahaan saat ini bukan terletak pada seberapa besar mengadopsi teknologi, tetapi bagaimana menempatkan tenaga kerja sebagai prioritas utama.
“SDM merupakan fokus utama keberhasilan teknologi, tapi perlu diingat SDM disini bukan hanya tenaga kerjanya saja tetapi juga pelanggan dan mitra bisnis,” kata pria yang disapa Hami saat diskusi dengan media di Jakarta.
Menurutnya, dalam waktu tiga hingga lima tahun ke depan perusahaan yang fokus pada pengembangan SDM akan mampu mendorong terciptanya perubahan bagi bisnis mereka.
Dalam riset yang bertajuk Accenture Technology Vision 2016 terungkap ada lima tren teknologi yang didorong oleh prinsip pengembangan SDM.
To read a different story on Accenture’s research in English, click here.
Riset tersebut adalah riset tahunan Accentura yang dilakukan selama 10 tahun terakhir dan dianggap berguna bagi pemangku jabatan dalam menentukan arah bisnis. Ada lebih dari 3.100 eksekutif dan direksi dari 11 negara dan 12 industri dengan 33% diantaranya sudah terpapar digital.
Selain itu, 86 persen responden mengaku sudah mengantisipasi jika perubahan teknologi akan berlangsung dengan cepat hingga mengalami ‘digital culture shock’ dalam menghadapi kompetitor.
Tahun ini Indonesia tidak terlibat dalam proses riset yang dilakukan Accenture. Untuk segmen negara berkembang yang dianggap memiliki karakteristik yang hampir sama, sudah terwakilkan oleh Brazil, Tiongkok, India, dan Afrika Selatan.
Kelima tren teknologi tersebut antara lain:
1) Otomatisasi cerdas
Otomatisasi cerdas atau intelligent automation merupakan landasan peluncuran untuk pertumbuhan dan inovasi baru di masa depan.
Dengan didukung kecerdasan buatan (artificial intelligent/ AI), robotic, dan realitas tambahan (augmented reality) bisa mengubah operasional bisnis. Bahkan lebih dari itu bisa menciptakan hubungan baru yang lebih produktif antara pekerja dengan mesin.
Diakui di awal kemunculan gabungan ketiga otomatisasi cerdas diatas sempat membuat khawatir banyak pihak. Mengingat teknologi maju diprediksi akan mengurangi penyerapan jumlah tenaga kerja, meski kenyataannya kedua hal tersebut justru memiliki peran dan kemampuan yang berbeda.
Associate director, technology, Accenture Indonesia Indra Permana mengatakan otomatisasi cerdas justru akan membuat orang menjadi lebih pintar. Hal ini mengingat secara naluri manusia akan menyesuaikan dengan kecepatan kerja teknologi.
“Nantinya akan ada 40-60 persen pekerjaan yang akan diotomatisasi. Kemunculan kecerdasan buatan akan membuat mesin belajar hal-hal yang tak terduga. Hubungan erat antara mesin dan manusia dalam keseharian kini sudah tidak terelakkan lagi,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengilustrasikan salah satu perusahaan raksasa Siemen di Jerman dalam setahun mampu memproduksi lebih dari 50 ribu variasi produk.
Meski sudah menggunakan robot dalam proses produksi, namun masih membutuhkan 1.000 orang pekerja terutama untuk urusan operasional dan perawatan.
2) Tenaga kerja yang adaptif
Perkembangan teknologi menuntut tenaga kerja memiliki berbagai keahlian dan mampu berperan dalam berbagai bidang.
Tidak dapat dipungkiri jika perusahaan memang tidak hanya membutuhkan teknologi yang tepat, tetapi juga tenaga kerja yang bisa melakukan hal yang juga tepat, responsif serta mudah beradaptasi.
Di negara berkembang, sekitar 80 persen responden survei percaya bahwa dalam 3 tahun proporsi tenaga kerja di dalam organisasi akan bergeser ke arah yang lebih fleksibel dan serba-ahli daripada tenaga kerja dengan keahlian mendalam.
Menghadapi hal tersebut, 80 persen manajemen Teknologi Informasi (TI) di perusahaan mengaku mendapat tantangan untuk tidak terdisrupsi oleh kompetitor mereka.
Terlebih lagi, saat ini demografi angkatan kerja yang semakin fasih dengan teknologi digital jumlahnya kian bertambah.
Terkait dengan hal ini, managing director, oil and gas, Accenture Indonesia Engkun W. Juganda menyebut sekarang ini beberapa bisnis di Indonesia mulai mati karena merasa terdisrupsi dengan isu tenaga kerja yang serba bisa.
“Kecenderungan perusahaan untuk menggunakan tenaga paruh waktu akan meningkat, karena pekerjaan akan dibentuk berdasarkan proyek. Namun begitu bukan berarti nantinya tidak ada lagi spesialis di bidang-bidang tertentu,” kata Engkun.
Meski condong ke tenaga kerja dengan banyak keahlian, namun ia mengatakan tenaga spesialis masih tetap diperlukan meski perannya berbeda dan jumlahnya pun berkurang. Nantinya, pekerjaan akan lebih menyasar kepada siapa saja yang mau terlibat dalam satu proyek tertentu.
Untuk itu, menurutnya, fungsi pelatihan berbasis komputer menjadi sangat penting untuk mengembangkan kemampuan pegawai.
3) Ekonomi platform
Teknologi yang bisa dimanfaatkan secara strategis membuat pimpinan perusahaan menciptakan ekonomi platform yang mampu beradaptasi, terukur, dan saling terhubung.
Sekitar 81 persen responden survei sepakat jika model bisnis berbasis platform akan menjadi bagian strategi bagi pertumbuhan perusahaan.
Adopsi ekonomi platform di dunia bisnis memungkinkan kompetisi tidak lagi terjadi secara regional dan linear di satu bidang. Saat ini kompetisi bisa datang dari bidang apa saja dan dari belahan dunia manapun, tanpa disadari.
Hami mencontohkan peran kantor pos yang saat ini tidak sekedar mengirimkan surat akan tetapi juga memberi berbagai layanan yang bisa dilakukan secara online dan melalui ponsel pintar.
Semua perubahan dan persaingan seperti itu bisa terjadi di berbagai bidang yang berbeda dan tidak terduga sebelumya.
“Saat ini persaingan bisa datang tiba-tiba dan cepat sekali. Terlebih dengan semakin tingginya penggunaan Internet of Thing (IoT) yang memungkinkan komunikasi mesin ke mesin (M2M) terjadi secara otomatis,” katanya.
Nantinya, tidak ada lagi loyalitas konsumen terhadap satu produk.Hal itu disebabkan mereka bisa dengan mudah melakukan perbandingan untuk mencari produk yang lebih baik.
4) Disrupsi yang terprediksi
Ekosistem digital yang berkembang pesat juga memungkinkan hilangnya batas antar industri. Sekitar 81 persen responden survei menyatakan hal tersebut secara signifikan telah terlihat dalam industri mereka.
Lagi-lagi kemajuan teknologi memungkinkan adanya persaingan lintas industri. Hal ini memungkinkan kompetitor dari industri yang sama harus berpikir kreatif untuk menyediakan layanan baru, mengingat batasan industri kian lenyap.
“Saat ini pimpinan perusahaan harus berpikir ke depan, tentang bagaimana mengembangkan perusahaan,” kata Hami.
Salah satu contoh nyata yang tengah terjadi yakni persaingan ketat operator taksi dengan adanya layanan ride sharing. Dengan begitu, menurutnya operator taksi konvensional harus memikirkan strategi bisnis baru agar tidak tergerus zaman.
5) Kepercayaan digital
Adopsi teknologi yang kian masif tentu meningkatkan isu potensial terhadap sensitifitas data. Selain sistem keamanan yang dibuat semakin canggih, ternyata etika dan kepercayaan juga mempengaruhi perkembangan bisnis suatu perusahaan.
Dalam survei yang dilakukan Gartner, diprediksi pada 2019 nanti banyak perusahaan harus merogoh kocek lebih dari US$100 miliar untuk urusan keamanan data. Hal ini kian mempertegas bahwa data merupakan isu penting dan sensitif di masa mendatang.
“Dari survei kami didapati 83 persen responden mengaku kepercayaan merupakan landasan dalam ekonomi digital. Terlebih di negara berkembang di mana 90 persen responden mengaku mendapat kepercayaan dari individu, ekosistem, dan regulator sehingga mereka harus fokus pada etika digital mengingat keamanan saja tidak cukup,” ucap Hami.
Etika yang dimaksud terkait dengan itikad perusahaan dalam menggunakan data yang dimiliki untuk membangun kepercayaan pelanggan.
Dengan melakukan investasi pada SDM diyakini akan turut mempercepat realisasi kelima tren teknologi di atas.
Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, ke depannya pelaku usaha tidak lagi berpikir tentang ‘usaha saya’, tetapi lebih luas lagi menjadi ‘ekonomi kami’ karena mereka dituntut untuk bisa membuat lini bisnis baru.
Artikel Terkait:
Tunjuk bos baru, Oracle fokus pada bisnis cloud
Resmi berbadan hukum, PT Dell Indonesia siap ekspansi
The digital economy is about people: Accenture study
Untuk mengakses lebih banyak berita-berita teknologi serta informasi terkini, silahkan ikuti kami di Twitter, LinkedIn or sukai laman kami di Facebook.